Selasa, 10 Desember 2013

Sejarah Cucu Nabi Adam As dan Anak Nabi Syits As: Sayid Anwar dan Sayid Anwas


Gagasan bahwa umat manusia berasal dari Adam diceritakan oleh mitos lain yang menghubungkan mata rantai antara generasi saat ini dan nenek moyang mereka. Menurut mitos di kalangan penduduk Cirebon, pertama kali Adam mendapat keturunan adalah ketika ia berusia sekitar 130 tahun, Hawa mengandung dan melahirkan anak kembar, satu pria dan satu wanita, yang diberi nama Qabil dan Iqlima. Secara keseluruhan Hawa melahirkan sampai 42 kali, dan setiap kelahiran adalah kembar (satu laki-laki dan satu perempuan), kecuali pada kelahiran yang ke-6, yaitu ketika Hawa mengandung hanya satu anak laki-laki, yaitu Syits, dan yang ke-40 kali, yaitu ke-tika mengandung hanya seorang anak perempuan, Hunun.

Ketika Hawa melahirkan pasangan kembar yang kelima, Adam menetapkan aturan perkawinan, bahwa anak lak-laki yang tampan harus menikah dengan anak perempuan yang tidak cantik, sedangkan anak laki-laki yang tidak tampan harus menikah dengan anak perempuan yang cantik. Karena setiap Hawa melahirkan selalu kembar dua, sehabis kembar cantik dan tampan, kemudian kembar tidak cantik dan tidak tampan, dengan demikian menurut aturan ini dipastikan bahwa tak seorang anaknya pun yang bisa menikahi kembarannya.

Pada tahap ini, Iblis —yang telah menyebabkan mereka dilempar dari surga— menyiapkan sebuah rencana baru. Ia mencoba lagi mengganggu Adam dan Hawa, tetapi tidak bisa melakukannya dengan cara yang sama seperti ia telah melakukan di surga, sebab alam mereka telah menjadi sangat berbeda. Adam dan Hawa adalah makhluk fisik (jasmani, kasar), sedangkan iblis sendiri adalah makhluk non-fisik (rohani, halus). Iblis kemudian memasuki hati Siti Hawa dan berbisik kepadanya agar memberontak melawan terhadap aturan perkawinan Adam dengan menentang dan mengesankan sebagai aturan yang kontroversial; yaitu, putranya yang tampan juga harus menikah dengan putrinya yang cantik, dan putra yang tidak tampan juga harus menikah dengan putrinya yang tidak cantik.

Untuk mendukung pernyataan mereka, Adam dan Hawa masing-masing mengklaim berhak atas anak-anak mereka dan oleh karena itu juga berhak untuk menetapkan peraturan perkawinan. Masing-Masing bersikeras bahwa anak-anak itu benar-benar berasal dari badannya; menurut Adam dari spermanya dan menurt Hawa dari sel telornya. Untuk memecahkan masalah tersebut akhirnya mereka sepakat untuk menuangkan kedua unsur tersebut (sperma dan sel telur) ke dalam dua bejana (atau cupu) yang berbeda untuk memohon bimbingan Tuhan.

Suatu hari setelah berdoa, muncullah angin yang cukup kencang menerbangkan bejana Siti Hawa. Ketika itu Adam berusia sekitar 160 tahun, di dalam bejananya berkembanglah seorang bayi laki-laki yang manis. Mereka kemudian paham bahwa semua yang telah terjadi adalah Kehendak Tuhan lalu memberi nama bayi itu Syits. Sejak saat itu, aturan perkawinan yang dirancang oleh Adam pun berlaku. Keseluruhan populasi manusia dunia, oleh karena itu turun dari Adam melalui/sampai anak-anak nya (kecuali Hunun, yang tidak menikah sebab dia dilahirkan tanpa kembaran, dan Habil, yang dibunuh sebelum mempunyai anak), termasuk Syits, yang mendapatkan isterinya dengan cara berbeda.

Gagal menggoda Hawa, Iblis tidak berhenti mengganggu; ia beralih kepada anak-anaknya. Sebagai hasil usahanya, diluar dari yang empatpuluh perkawinan antara anak-anak Adam, ada tiga pasang yang memilih menentang aturan perkawinan dan menikahi pasangan kembar mereka yang tampan dan cantik. Mereka adalah: pasangan kembar sulung, Kabil menikahi Aklima; pasangan kembar kelima, Harris menikahi Dayuna; pasangan kembar kelimabelas, Lata menikahi Ujiah (‘Uzza). Kabil menikahi Aklima setelah pembunuhan suaminya, Habil. Untuk menyatakan pemberontakannya mereka meninggalkan tempat Adam; Kabil-Aklima ke selatan Afrika; sedangkan Lata-Ujiah ke arah barat Afrika (Eropa?); dan Harris-Dayuna pergi ke arah timur ke negeri China.

Tanpa menetapkan dari pasangan mana penduduk asli Jawa dimulai, mitos ini mengatakan bahwa ekspedisi laut yang pertama ke Pulau Jawa diadakan oleh Wazir Asia barat, Alexander The Great (Iskandar Zulkarnain, Nabi Dzul Qarnayn). Ia sengaja mengirim sebanyak 2.000 laki-laki dan perempuan untuk menduduki Pulau Jawa. Sayangnya mereka menemui ketidakramahan dan sebagian besar mereka dibunuh oleh penghuni asli, termasuk beberapa macam binatang buas liar, lelembut dan dedemit (hantu). Tidak lebih dari 100 orang yang tersisa dan kembali ke Asia barat.

Ekspedisi kedua dikirim lagi tetapi dengan kewaspadaan tinggi, turut serta sejumlah tetua yang bijak dan suku-suku yang berbeda, terutama sekali orang-orang dari selatan dan Asia tenggara (Keling dan Campa). Ada sekitar 20.000 laki-laki dan perempuan, yang dipimpin oleh Syeikh Subakir yang mendarat di Pulau Jawa. Syeikh Subakir segera pergi ke Gunung Tidar di mana ia menemui Semar dan Togog, para pemimpin mahluk halus di Jawa dan merundingkannya dengan mereka.

Mereka akhirnya mencapai suatu persetujuan dengan membiarkan pendatang baru itu untuk tinggal di Pulau Jawa dengan syarat mereka harus sadar bahwa Pulau Jawa sesungguhnya dihuni oleh banyak mahluk halus, sehingga kedua belah pihak —terutama pendatang pertama (penghuni asli)— yang lebih dulu harus berusaha untuk mendukung kehidupan bersama yang tenang (rukun) satu sama lain. Sejak saat itu Pulau Jawa telah dihuni oleh makhluk halus dan juga manusia.

Posisi keturunan Adam, Syits, menjadi makin signifikan. Mitos mengatakan bahwa Syits tadinya adalah salah satu dari anak-anak Adam yang paling terkasih, dan oleh generasi kemudian kepadanya figur mitos penting ditujukan. Ia menikah Dewi Mulat, namun siapa dia, dari mana dia datang, dan bagaimana Syits berjumpa dengannya, tidak diuraikan. Syits, pada sisi lain, digambarkan sebagai anak yang berkelakuan baik, sehingga kemudian setelah Adam meninggal pada usia 960 tahun, Syits menerima warisan kenabian Adam.

Hal ini menjadikan kebanggan dan sekaligus kecemburuan pada diri Idajil, Raja jin. Idajil ingin, dan kemudian mencoba, untuk mempunyai keturunan yang bisa mengambil alih, atau paling tidak, membawa kemuliaan Adam dan Syits. Ia ingin Syits menikahi putrinya, Delajah. Namun sayangnya, Syits telah menikahi Dewi Mulat. Bagaimanapun juga Idajil tidak berputus asa, sebagai gantinya, ia membuat segala cara yang mungkin untuk mewujudkan hasratnya. Ia menyindir putrinya, Delajah, ke dalam diri Dewi Mulat dan dengan diam-diam menaruhnya di samping Syits. Pada waktu yang sama ia membawa Dewi Mulat. Setelah tahu dengan pasti bahwa Delajah telah dihamili ia melepaskannya dan dengan seketika menggantinya dengan Dewi Mulat karena takut ketahuan.

Beberapa waktu kemudian, bersamaan dengan terbitnya matahari, Mulat melahirkan dua orang anak Syits. Yang satu berwujud bayi normal, sedangkan yang satunya berwujud cahaya. Di lain tempat pada saat matahari terbenam, Delajah juga melahirkan putra Syits namun berwujud darah yang berkilauan. Diam-diam Idajil membawa “cucunya” itu untuk dipersatukan dengan putra Mulat yang berwujud cahaya. Terciptalah seorang bayi laki-laki yang tubuhnya memancarkan cahaya tapi tidak bisa diraba. Nabi Adam kemudian memberikan nama kepada kedua cucunya tersebut. Bayi yang bertubuh normal diberi nama Anwas, sedangkan yang memancarkan cahaya diberi nama Anwar.

Dua bayi tersebut (satu manusia dan satunya lagi, sesungguhnya, adalah jinn), dirawat dengan cinta dan kasih sayang, bahkan ketika Adam telah sadar bahwa Idajil yang telah campur tangan dalam hubungan tersebut. Selama masa kanak-kanak mereka, mereka menghormati kakek dan nenek dan orang tua mereka dengan sangat baik, dan bangga akan mereka, tetapi kemudian Anwas dan Anwar menunjukkan pilihan dan kebiasaan yang jelas sangat berbeda.

Anwas sangat jelas mengikuti kebijaksanaan dari kakek dan bapaknya, menjadi seorang yang beriman dengan tulus, gemar akan pelajaran kebenaran dan iman. Anwar, bagaimanapun, senang akan pengembaraan untuk mencari kebijaksanaan melalui perenungan dalam ketenangan dan tempat-tempat asing/aneh seperti di atas pegunungan, di dalam rimba raya dan di dalam gua. Sebelum kematiannya, Adam menceritakan kepada Syits agar seksama bahwa para putranya Anwas dan Anwar akan mengambil alur berbeda. Ramalan ini sebenarnya setelah Adam meninggal. Anwar selalu bersedih ketika mengingat bahwa manusia akhirnya mati, tak bisa bergerak dan dikuburkan. Syits menceritakan kepadanya bahwa itu adalah proses yang alami dan bahwa itu akan terjadi pada semua orang tanpa perkecualian. Tetapi duka cita Anwar tak tertahankan dan ia mengolah pikirannya untuk meninggalkan orang tuanya dan untuk mengambil tindakan apapun yang akan memungkinkan dia untuk menghindari penyakit dan kematian. Ia mengembara mencari-cari sesuatu yang akan memastikan harapannya. Idajil dengan segera mengambil keuntungan dari kesempatan; ia menemui Anwar, yang sesungguhnya adalah cucunya, dan menceritakan kepadanya bahwa keputusannya adalah baik dan ia berjanji untuk membantunya.

Idajil membimbing Anwar ke arah utara, ke Dulmat. Di sini Idajil melakukan suatu tindakan magis, pertama dengan membuat awan tebal yang membungkus badan mereka bersama-sama. Seketika awan menghilang, sebuah sumber air nampak di depan mereka. Ia meminta Anwar untuk minum sebanyaknya, sekuat kemampuannya, serta agar berendam di sumber air yang disebut Tirta Marta Kamandanu (air kehidupan), air kehidupan kekal. Ia juga memberi Anwar bejananya Siti Hawa, yang disebut Cupu Manik Astagina, bejana permata dengan delapan keistimewaan, yang telah ditemukan Idajil setelah bejana itu diterbangkan oleh angin yang kencang. Ia meminta Anwar untuk mengisinya dengan air, untuk beberapa keperluan di masa mendatang. Salah satu keistimewaan bejana tersebut bahwa air di dalamnya tidak pernah dapat habis.

Idajil kemudian memimpinnya keluar dari tempat ini dan menceritakan kepadanya agar mengambil sekuntum tumbuhan Rewan yang akan ia temukan dalam perjalanan kembalinya, akarnya disebut Latamansadi, yang mujarab untuk mengobati segala macam penyakit. Idajil kemudian menghi-lang, membiarkan Anwar dalam keadaan ragu-ragu kemana akan pergi. Tetapi pada akhirnya Anwar menemukan tumbuhan tersebut dan ia dengan gembira mengambil sebagian dari akar latamansadi.

Pada waktu itu Anwar telah menemukan berbagai hal yang penting yang ia benar-benar menginginkan: menghindari penyakit, dengan menguasai latamansadi, dan menghindari kematian dengan minum dan mandi dengan air kehidupan kekal. Ia mempunyai lebih banyak lagi bejana permata delapan keistimewaan dan beberapa cadangan air kehidupan kekal. Setiap ia menginginkan masih ada lagi.

Mitos melanjutkan dengan cerita bagaimana Anwar di bawah bimbingan Idajil, dapat berjalan dan bergerak dengan kecepatan rohani yang hebat. Misalnya, ia terdorong untuk melakukan petualangan lebih lanjut: ke laut Iraq, dimana disana ia berjumpa dengan para malaikat yang dikutuk, yaitu Harut Dan Marut, yang mengajarinya ilmu astrologi untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa datang.

Di Afrika ia berjumpa dengan paman dan bibinya, Lata dan Ujiah (‘Uzza), putra dan putri Adam yang suka menentang yang mengajarinya bagaimana cara memperoleh hidup nyaman dengan berkelimpahan.

Di Gunung Cauldron di muara Sungai Nil, Anwar berjumpa lagi dengan Idajil, tetapi ia tak mengenalinya. Idajil memberinya pengalaman mistis melihat surga; diajarinya agar dapat bergerak lebih cepat dari angin; dan memberinya hadiah yang mahal, Ratna Dumilah, sebuah intan permata seperti lampu bersinar yang bisa membimbingnya ke jalan yang lebih terang; Idajil mengajarinya, dan memberinya hak otoritas untuk mengajarkan doktrin tentang kehidupan kekal melalui ‘reinkarnasi’, dan untuk mencapai surga bagi mereka yang tidak ingin menjelma lagi (dalam reinkarnasi).

Idajil juga memintanya untuk mengejar pengetahuan yang lebih lanjut seperti pencerahan di antara Pulau Maldewa dan Laksdewa, yang bernama Lemah Dewani.

Di situlah Sayid Anwar melakukan tapa brata dengan cara melihat matahari mulai terbit sampai tenggelam. Setelah tujuh tahun bertapa, daya linuwih pada Sayid Anwar terolah hebat sehingga bisa menghilang (kasat mata). Dalam pengembaraannya di Lemah Dewani, Sayid Anwar banyak bertarung dengan para jin dan membuat mereka tunduk di bawah kekuasaannya. Mendengar kehebatan Sayid Anwar, lama-lama banyak kaum jin yang memilih mengabdi padanya. Kejadian tersebut sangat mengganggu Prabu Nuradi, raja para jin yang menguasai Lemah Dewani. Prabu Nuradi melabrak Sayid Anwar dan mengajaknya bertarung. Dalam pertarungan itu Orabu Nuradi kalah dan tunduk pada kekuasaan Sayid Anwar. Prabu Nurani memilih turun tahta lalu mengangkat Sayid Anwar menjadi raja para jin dan menyerahkan putrinya menjadi isteri. Ketika menjadi raja jin, Sayid Anwar mendapatkan gelar Prabu Nurasa. Prabu Nurasa yang telah memiliki kehidupan abadi, kemudian tinggal di tempat tinggi dan meminta izin pada Yang Mahaesa untuk mengangkat diri sebagai Tuhan Semesta Alam. Yang Mahaesa mengabulkan dan membiarkan Prabu Nurasa murtad dari ajaran keturunan Nabi Adam. Ketika menjadi raja, Lemah Dewani diubah nama menjadi Tanah Jawi (Tanah Jawa). Dari Prabu Nurasa lahirkan keturunan-keturunannya yang kemudian menjadi para dewa mulai dari Batara Guru sampai raja-raja di Tanah Jawi.

Tidak sama dengan Anwar —yang dulu dilahirkan sebagai roh dan yang membentuk agamanya sendiri setelah mela-kukan perenungan dan pencarian panjang dalam hal kebijaksanaan di bawah bimbingan Idajil— Anwas dilahirkan sebagai manusia nyata, yang mengikuti agama risalah dari kakeknya (Adam) dan bapaknya (Syits). Ia memperoleh keturunan yang juga nabi, termasuk Muhammad, nabi yang terakhir. Mereka meneruskan agama Allah kepada yang mau menerimanya.

 Menurut mitos, skenario Idajil tidak berakhir dengan Anwar, yang menjadi perhatian utamanya adalah untuk mempunyai keturunan yang menjaga kemuliaan Syits antara jin atau manusia. Di kemudian hari, dari perkawinan silang keturunan Anwar dengan jenis manusia, muncullah beberapa jenis keturunan, ada yang jin, ada yang manusia, juga ada yang setengah jin setengah manusia. Beberapa di antara mereka adalah figur terhormat: dari kalangan jin yaitu Sang Hyang, dari jenis manusia adalah Sang Prabu, Pandhita, dll., dan di antara yang setengah jin setengah manusia adalah Bhatara, dan Bhagawan. Keturunan yang terakhir ini, dengan tradisi agama mereka (agama Sang Hyang) yang menduduki Pulau Jawa yang mendahului Islam.

Di lingkungan wilayah Cirebon, keseluruhan mitos ini menjadi bagian dari tradisi kesusasteraan yang berkaitan dan menjadi mata rantai dengan bapak penemu mereka, Sunan Gunung Jati. Dari Adam dapat diusut dari kedua sisi: Anwar dan Anwas. Ibu Sunan Gunung Jati, Rarasantang, adalah putri Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, Keturunan Jawa ke-41 dari Batara Guru, dan keturunan ke-45 dari Sang Hyang Nurasa, Putra Syits, putra Adam. Ayah Sunan Gunung Jati adalah Syarif Abdullah, Wazir Kerajaan Turki di Mesir, keturunan ke-21 dari Nabi Muhammad, sedangkan Nabi Muhammad sendiri adalah keturunan ke-37 dari Anwas, putra Syits, putra Adam.

Pesan di balik mitos ini telah jelas sudah: pada satu sisi, Sunan Gunung Jati dan keturunannya mempunyai hak-hak legitimasi kepemimpinan baik secara rohani maupun politis bagi seluruh penduduk Jawa, baik itu para pengikut Sang Hyang, orang Islam, makhluk halus, atau manusia, sepanjang mereka adalah keturunan Adam atau jin. Dengan begitu mereka semua harus tinggal dalam keselarasan (rukun) di bawah kepemimpinan keturunannya.

Pada sisi lain, mitos ini secara implisit menyatakan bahwa Allah adalah Yang Maha Tertinggi dan Maha Esa. Sedangkan dewa-dewa lain yang sebagian besar jenis Sang Hyang adalah tak lain hanya nenek moyang kita yang layak untuk dihormati tetapi tidak untuk dipuja/disembah. Mereka tak berdaya menghadapi kuasa ilahi mandiri dan riil. Jika mereka menunjukkan suatu kekuatan, adalah sebab Tuhan telah memberikan kepada mereka. Kekuatan mereka dapat dicabut kapan saja Tuhan mau. Lebih dari itu, seperti halnya kita, mereka hanya keturunan Syits, putra Adam. Adam sendiri adalah ciptaan Tuhan, yang pernah suatu kali dihukum. Ia selamat setelah tobat dan telah diserahi posisi sebagai Wakil Tuhan di atas bumi (khalîfatullâh fil ardh), setelah dicurahkan RahmatNya. Meski demikian, ia juga mengalami mati karena ia hanya makhluk ciptaan.

Dzikir Fida'


Asy-Syaikh Abu Zaid Al Qurtubi ia berkata : 

Saya telah mendengar hadits (ada yang mengatakan atsaar) yang menerangkan bahwa : siapa yang membaca laa Ilaaha Illallah tujuhpuluh ribu (70.000) kali, maka akan jadi tebusan dari api neraka, maka saya kerjakan itu karna mengharap berkat janji itu, juga saya kerjakan untuk keluargaku, juga saya telah berbuat lain-lain amal untuk tabunganku di hari kiamat.

Bertempatan di tempat kami, bermalamlah seorang pemuda ahli kasyaf, bahkan adakalanya (sewaktu-waktu dibuka hijabnya sama Allah) ia menerangkan kasyafnya mengenai surga dan neraka, orang-orangpun mengakui kelebihan pemuda itu meski usianya masih muda, bahkan saya juga menaruh kepercayaan terhadapnya.

Bertepatan kami di undang oleh kawan untuk makan minum di rumahnya, dan pemuda itu juga bersama kami dalam undangan itu, tiba-tiba ia menjerit sekeras-kerasnya, lalu ia berkata : ya ammi (paman), itu ibuku berada dalam api neraka, lalu ia menjerit kembali sekeras-kerasnya.

ketika saya melihat keadaan itu, timbul perasaan dalam hati, akan saya uji kebenarannya, maka saya membaca Laa Ilaaha Illallah tujuh puluh ribu (70.000) kali dan tiada seorangpun mengetahui bahwa saya sedang membaca itu, kecuali Allah, dan saya percaya bahwa hadits itu benar, dan orang-orang yang meriwayatkannya semua benar, lalu saya berdoa :

"ALLAAHUMMA INNAA HADZIHIS-SAB’INA ALFAN FIDA'A HADZIHIL MAR'ATI UMMI HADZASY-SYAAB (Ya Allah, sesungguhnya tujuhpuluh ribu (Laa Ilaaha Illallah 70.000) ini, aku hadiahkan untuk tebusan ibu pemuda ini).”.

maka belum selesai perasaan dalam hatiku, tiba-tiba pemuda itu berkata : ya ammi (paman), ibuku telah keluar dari api Walhamdulillah. (Didalam Kitab Irsyadul ‘Ibad Ilasabilirrasyad Asy-Syaikh Zainuddin Al Malibari dan Kitab Raudhur Rayahin Asy-Syaikh Imam Abdullah bin Asad Ali bin Fallah al-Yafii) 

Silahkan diamalkan bagi siapa saja yang mau mengamalkannya, alfaqir ijazahkan ataqoh sugro (penebus dari api neraka) ini bagi siapa saja yang mau mengamalkannya, mengamalkan/membacanya boleh dicicil yang penting dalam seumur hidup bisa berjumlah tujuhpuluh ribu kali.

Allahu a’lam bishawab..

Penghormatan Alam Kepada Khairul Anam (Sebaik-baik Manusia)

Di sudut pagi, Rasulullah tampak sangat ceria dan berseri-seri. Lalu, sahabat menanyakan kepadanya tentang apa yang membuat beliau terlihat gembira. Kemudian Nabi menjawab bahwa Jibril telah datang kepadanya dan berpesan, “Hai Muhammad jika ada seseorang memberi shalawat kepadamu sekali, maka Allah akan bershalawat untuk orang itu 10 kali, dan akupun akan bershalawat untuk orang itu 10 kali.”


Rasulullah bersabda, “Jika seorang berkirim salam kepada Allah untukku, maka Allah akan mengembalikan ruhku kepada tubuhku dan aku akan menjawab salam orang itu.” Lalu para sahabat bertanya, “Jika engkau sudah mati, maka tubuhmu akan membusuk dan hancur, lalu engkau akan kembali ke tubuh yang mana?” Rasul menjawab, “sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada bumi untuk memakan hancur tubuh nabi.” Hadis ini diambil dari hadis shahih, dapat dilihat dalam Fiqhu Sunnah karya Syekh Sayid Sabiq.

Sebagian ulama berpendapat bahwa jasad Nabi masih utuh dan tidak hancur sedikit pun hingga saat ini. Kalau ada seseorang yang bershalawat kepadanya, maka Allah akan mengembalikan ruhnya kepada jasadnya untuk bershalawat kepada orang yang telah memberinya shalawat itu. Dari ruh Nabi itu memancarkan gelombang energi cinta kepada orang yang bershalawat, berziarah dan berdoa untuk dirinya.

Seseorang tidak memerlukan pengetahuan yang tinggi tentang sejarah Nabi dan pengetahuan tentang ajaran Islam untuk mendapatkan energi itu, karena energi Nabi itu akan hadir begitu saja sehingga menimbulkan gejolak emosional yang tak tertahankan. Maka, wajarlah jika kemudian banyak orang menangis terharu ketika mengucapkan shalawat kepada Nabi, apalagi ketika mereka menziarahi kuburan beliau di Madinah.

Tidak hanya Allah, para malaikat dan hamba-hamba-Nya yang saleh saja yang bershalawat kepada Nabi, tetapi semua makhluk yang lain pun melakukan hal yang sama. Alam pun ikut memberi shalawat. Seperti, awan yang selalu melindungi Rasul kemana pun beliau pergi, sehingga beliau tidak kepanasan dalam perjalanan. Peristiwa ini terjadi ketika beliau pergi bersama pamannya, Abu Thalib untuk berdagang ke Syam (Syiria). Ini merupakan bentuk ketundukan dan penghormatan alam kepada khairu anam (sebaik-baiknya manusia).


Demikian juga ketika Nabi akan menggunakan sepatu panjangnya untuk keluar rumah. Tiba-tiba seekor elang besar menyambar sepatu Nabi dan menerbangkan sepatu itu ke udara. Para sahabat yang menyaksikan peristiwa itu langsung berusaha untuk memanah elang itu, karena dianggap kurang ajar kepada Nabi. Namun, Nabi melarang memanah elang tersebut. Bebarapa saat kemudian, elang itu mengayun-ayunkan dan membalingkan sepatu itu di udara hingga keluar ular gurun berbisa dari dalam sepatu. Ular tersebut terlempar ke tanah dan sepatu itu pun jatuh menyusul kemudian. Ternyata, elang pun mampu menunjukan penghormatan dan penyelamatan untuk menjaga Rasulullah SAW. Sang elang tak mau melihat seekor ular berbisa menggigit kaki Nabi, hingga secepat kilat menyambar sepatu itu.

Kemudian, ada pula kisah yang diambil dari hadis sahih yang lain, yaitu ketika Nabi dan Abu Bakar Siddiq, serta dua orang sahabat yang lain tiba di gunung Uhud. Tiba-tiba terjadi gempa beberapa kali di sekitar bukit itu. Lalu, dengan serta merta Rasulullah menghentakkan kakinya ke tanah dan bersabda, “Wahai Uhud, di atasmu ada Rasulullah dan Abu Bakar Siddiq beserta dua orang sahabat yang akan mati syahid. Diamlah! (uskut!)” Tiba-tiba, gunung Uhud pun berhenti bergemuruh. Begitu hormatnya alam terhadap Rasulullah, sehingga mereka diam dan taat mendengarkan perintahnya. Sehingga wajarlah jika dikatakan dalam Al-Quran bahwa Nabi Muhammad diutus ke dunia ini untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Tidak hanya manusia yang tunduk dan taat kepada Rasulullah, tetapi seluruh makhluk di dunia ini mendapatkan rahmat dari diri Rasulullah Saw.

Allah berfirman, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam,” (QS Al-Anbiya [21]: 107). Namun, pada saat yang sama, Nabi Muhammad adalah manusia biasa. Beliau juga makan, minum, tidur, pergi ke pasar, merasa sakit dan bersedih. Nabi dicaci-maki, dihina, dicemooh, dianiaya, dan dilempari kotoran, bahkan berkali-kali hendak dibunuh. Sehingga, tidak alasan sedikit pun bagi manusia untuk mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah sesuatu yang mustahil dilakukan oleh manusia biasa. Jadi, lengkaplah sudah jika Allah berfirman bahwa Muhammad adalah manusia biasa, tetapi dia tidak seperti manusia yang lainnya. Muhammad memang betul-betul menjadi figur yang tiada tandingnya, dan harus diikuti dan ditaati oleh makhluk yang lainnya. Jika, Muhammad bukan manusia biasa, mungkin banyak orang akan berdalih bahwa Muhammad memang patut melakukan ini dan itu, dan tidak bisa diikuti oleh manusia biasa.

Muhammad adalah figur manusia yang sederhana dan bersahaja, meskipun dia mampu mendapatkan apa saja jika dia mau memintanya. Bahkan, beliau tidak segan-segan menolak untuk menerima pemberian dari orang lain, kerana merasa masih banyak orang lain yang lebih membutuhkan, padahal posisinya ketika itu sangat miskin. Beliau sama sekali tidak menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Meskipun orang sudah mengusir, mengancam, menganiaya, dan menghinanya, tetapi Nabi tetap mendoakan orang tersebut agar sadar. Beliau bahkan mendoakan agar dosanya diampuni. Nabi menolak tawaran malaikat untuk membumihanguskan mereka, padahal jika dia mau, maka malaikat tinggal membalikan telapak tangannya. Bahkan, Abu Lahab yang telah banyak sekali menyakiti dirinya, justru dikunjungi Nabi ketika sakit. Muhammad selalu memberi maaf kepada orang yang pernah menyakitinya.

Nabi Muhammad Saw. adalah figur seorang bapak, suami, kakek, pedagang, pemimpin, pendidik, dan penderma yang tiada duanya di muka bumi ini. Wajarlah jika dikatakan oleh Siti Aisyah bahwa akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Quran. Keluhuran budi pekerti Nabi terpahat dalam ingat semua sahabat yang menyaksikan sepak terjang beliau, hingga menimbulkan kerinduan yang dalam bagi umat sepeninggalnya. Kita tidak akan menemukan figur beliau sampai kapan pun dan dimana pun, yang ada hanyalah pewaris-pewaris par nabi yang terus menerus memperjuangkan dakwah Islam, selalu mencontohkan akhlak rasul, dan mengajarkan ketakwaan kepada Allah Swt., mereka adalah para wali, ulama, guru-guru dan orang saleh yang mempunyai keimanan dan ketakwaan yang tinggi. Mereka yang kita sebut sebagai pewaris para nabi adalah mereka yang benar-benar jiwa dan raganya diabdikan untuk Allah dan perjuangan rasul-Nya.Tanpa bantuan mereka kita tidak dapat menikmati nikmatnya iman dan Islam yang kita miliki.